Investasi Online

1 2 3 4 5

Sabtu, 14 Januari 2012

Kecenderungan Proses Pembaruan Pembangunan Ekonomi di Indonesia

Jika kita yakin bahwa kebenaran dan kebaikan itu datangnya dari Tuhan Yang Maha Benar dan Maha Baik, maka kita juga tentu yakin bahwa proses mencari kebenaran dan kebaikan itu pada akhirnya akan menang menghadapi segala rintangan dan kendala yang menghalangi jalur perjalanannya. Dan jika kita percaya akan hal tersebut maka sebenarnya arus proses mencari kebenaran dan kebaikan itulah sesungguhnya hakekat realita kehidupan. Segala sesuatu yang mencoba menghalangi atau membendung merupakan sesuatu yang bertentangan dengan realita, dan sebaliknya realita akan sejalan seiringan dengan kebenaran dan kebaikan. Sebagai mahluk yang menghamba kepada kehendak Tuhan, manusia sebenarnya hanya memiliki dua tugas, yaitu untuk terus mempelajari, memahami dan menghayati arti dan wujud kongkrit kebenaran dan kebaikan itu; serta terus menerus berusaha, berikhtiar untuk mewujudkannya. Bagi manusia, pertanggung-jawaban yang harus diberikan adalah mengenai bagaimana proses pemahaman tersebut terus dikembangkan dan bagaimana konsistensi usaha dan ikhtiar yang dilakukannya. Hasil paling akhirnya sudah pasti: kebenaran dan kebaikan akan menang; manusia tidak dapat mempengaruhi hal tersebut. Manusia hanya menikmati hasil dari pemahaman dan ikhtiar yang dilakukannya.
***
Pemikiran dasar di atas kiranya berlaku untuk setiap aspek kehidupan di dunia ini, termasuk -bahkan mungkin terutama- dalam kegiatan ekonomi. Bahwa memang terdapat kecenderungan pembaruan menuju kebenaran dan kebaikan ekonomi yang bergerak sepanjang sejarah manusia. Hal tersebut dapat dilihat dengan mencermati tonggak-tonggak sejarah perkembangan ekonomi dunia mulai dari perekonomian pada masa awal sejarah, perkembangan ekonomi di Yunani, di Cina, di Jazirah Arab, perdagangan Timur-Barat, hingga ke Depresi tahun 1930-an, kemerdekaan bangsa-bangsa setelah Perang Dunia, apa yang disebut sebagai "Asian Miracle" dan krisis ekonomi Asia, serta rangkaian teori yang dihasilkan oleh para peraih hadiah Nobel. Perkembangan tersebut sejalan dengan perkembangan peradaban manusia, dan tampaknya terdapat suatu kecenderungan pokok bahwa ekonomi -dan ilmu ekonomi- semakin realistis mencoba untuk selalu lebih dapat mencerminkan kehidupan manusia dan masyarakat yang kompleks. Dalam tataran teori dan konsep, ilmu ekonomi semakin banyak membahas berbagai hal yang pada kondisi riilnya dalam masyarakat memang menentukan keputusan ekonomi yang sebelumnya hampir selalu menjadi objek asumsi "ceteris paribus". Aspek-aspek seperti informasi yang tidak sempurna, adanya harapan (ekspektasi) yang rasional dalam pengambilan keputusan, adanya pengaruh demokratisasi terhadap penanggulangan kemiskinan, atau kesatuan keputusan produksi dan konsumsi dalam rumah tangga semakin mendapat perhatian dalam pembahasan teori.

Kondisi tersebut kemudian juga beriringan dengan perkembangan yang terjadi pada ilmu ekonomi yang dipergunakan sebagai "panduan" dalam merancang proses pembangunan ekonomi, sehingga pada gilirannya proses pembangunan itu sendiri juga mengalami perkembangan. Lingkaran deduktif-induktif yang terdiri dari (1) teori dan konsepsi ekonomi; (2) strategi pembangunan ekonomi; dan (3) realitas ekonomi; menjadi "roda" yang memfasilitasi berjalannya pemahaman terhadap perkembangan arus besar pembaruan pembangunan ekonomi. Jika hal tersebut dicermati untuk konteks Indonesia -katakanlah dalam lima tahun terakhir- maka akan diperoleh gambaran mengenai arus besar kecenderungan pembaruan apa yang tengah bergerak membentuk ekonomi Indonesia yang lebih baik.

Pertama, kecenderungan perkembangan yang sangat kuat untuk menuju pada kegiatan ekonomi yang adil tanpa eksploitasi dan penindasan. Kita sama menyadari bahwa Indonesai telah (pernah) mengalami kondisi perekonomian di bawah rezim yang otoriter dalam berbagai bentuknya mulai sejak penjajahan hingga masa pergantian abad. Otoriterisme hampir selalu menghasilkan ekonomi yang eksploitatif dan penuh penindasan, tidak hanya kepada manusia tetapi juga kepada alam dan lingkungan. Otoriterisme juga cenderung melahirkan dominasi yang juga sering kali melahirkan eksploitasi. Sifat yang otoriter dan dominatif yang juga sering sekali melahirkan eksploitasi. Sifat yang otoriter dan dominatif tersebut umumnya lahir dari pandangan yang terlalu mengedepankan persaingan serba bebas (free fight liberalism) dengan dukungan paradigma kekuasaan yang kuat.

Arus proses menuju ekonomi yang adil itulah sebenarnya yang mendorong kita menjebol rezim otoriter yang telah berkuasa sekian lama di Indonesia. Pertumbuhan material yang dihasilkan rezim otoriter itu memang tinggi, tetapi ternyata dihasilkan dari proses yang sangat eksploitatif. Alam dieksploitasi tidak berkesudahan. Ribuan hektar hutan berikut isinya musnah, lautan dikuras tanpa henti, bumi pertambangan dikeruk hingga hanya menyisakan tanah yang membatu. Kondisi itu tentu memiliki korelasi yang jelas dengan pemberian hak-hak pengusahaan hingga jutaan hektar pada beberapa gelintir orang, dan pemberian konsesi pertambangan yang tidak terkontrol. Buruh juga dieksploitasi. Upah buruh yang murah justru dinyatakan sebagai faktor keunggulan. Posisi buruh selalu diusahakan untuk tetap berada pada sisi yang lemah dengan dalih karena besarnya supply tenaga pada pasar kerja. Sifat "ilegal" dari buruh yang sekarang menjadi masalah sebenarnya sudah mendapat "pembenaran" lama di dalam negeri sebelum mereka berangkat ke tanah seberang. Petani merupakan korban eksploitasi berikutnya. Harga produk pertanian yang harus dijaga stabil pada tingkat yang rendah dipandang menjadi salah satu komponen strategi utama pembangunan secara keseluruhan karena hal itu akan berarti pula pada dapat dipertahankannya upah buruh yang murah. Kondisi eksploitatif tersebut juga menimbulkan "paradox": produksi pertanian harus ditingkatkan tetapi insentif natural untuk meningkatkan produksi tersebut (harga) tidak (boleh) diberikan. Dan kita akhirnya tidak lagi dapat menerima perlakuan yang tidak adil dan eksploitatif itu dan menggulirkan proses reformasi.

Kecenderungan kedua dalam perkembangan perekonomian Indonesia adalah apresiasi yang makin tinggi terhadap keberagaman. Indonesia merupakan negara dengan ciri keragaman yang sangat tinggi. Ribuan pulau, puluhan suku bangsa, puluhan dialek dan bahasa, ribuan spesies fauna dan varietas tanaman, dan puluhan jenis bentuk ekosistem merupakan beberapa bentuk keragaman Indonesia. Jika kita percaya bahwa apa yang diciptakan Tuhan selalu merupakan yang terbaik bagi manusia, maka proses perkembangan ekonomi akan selalu mengarah pada apresiasi yang semakin tinggi terhadap keberagaman tersebut. Dilihat dari dimensi dunia maka akan sangat sulit bagi Indonesia untuk unggul bersaing jika basis keunggulannya adalah efisiensi. Efisiensi ekonomi yang hampir selalu berarti proses produksi yang seragam dan kontinyu mensyaratkan adanya skala usaha yang cukup besar untuk itu. Ini merupakan ciri keunggulan negara "benua" seperti Amerika Serikat, Australia, atau Cina. Itulah sebabnya -misalnya- petani kita sangat sulit bersaing dengan petani dari negara-negara tersebut jika basis keunggulan persaingannya adalah efisiensi. Tetapi petani kita akan unggul justru jika mengusahakan kegiatan-kegiatan pertanian yang khas dan unik. Salak pondoh, beras Cianjur atau beras Rojolele, kayumanis Kerinci, talas Bogor, duku Palembang, rambutan Binjai, pisang Barangan, dan lain-lain unggul terutama bukan karena tingkat efisiensi produksi yang dicapainya tetapi lebih karena aspek diferensiasinya yang menonjol. Demikian juga kegiatan ekonomi di Bali, Jogja, Jepara, atau karya batik Iwan Tirta, yang relatif tidak terpengaruh oleh krisis finansial (penurunan kegiatan ekonominya lebih karena faktor keamanan) memiliki basis keunggulan diferensiasi.

Keberagaman juga sebenarnya merupakan hal yang paling mendasar yang membuat ekonomi berjalan. Bayangkan, jika di pasar semua pedagang menjual produk yang seragam maka tentu tidak akan terjadi transaksi. Dalam keseharian kita berekonomi maka kita cenderung untuk lebih senang dan nyaman pada suasana dimana terdapat banyak pilihan. Itulah yang menjadi faktor pendorong berkembangnya supermarket, misalnya. Oleh sebab itu keberagaman dalam kegiatan ekonomi semakin menjadi keharusan yang tidak terbendung. Hal ini juga didukung oleh kenyataan bahwa selain berlainan dengan kodrat manusia yang memang berbeda satu sama lain, keseragaman yang berlebihan ternyata juga telah menimbulkan berbagai kerusakan. Contoh-contoh bisa dikemukakan dalam berbagai kegiatan ekonomi, seperti terlihat pada penyeragaman koperasi, monokulturisme usahatani tanaman pangan, dan sebagainya.

Kecenderungan yang ketiga merupakan konskuensi logis dari arus yang pertama dan kedua, yaitu semakin jelas dan tegasnya kebutuhan desentralisasi dan otonomi ekonomi. Sentralisasi adalah "adik kandung" otoriterisme dan praktek eksploitatif, karena hanya dengan sentralisasi yang hampir mutlak maka pendekatan otoriter dapat efektif. Sentralisasi tersebut kemudian akan cenderung mengabaikan keberagaman, karena yang beragam itu lebih sulit dikontrol dan dikelola. Padahal setiap daerah memiliki ciri dan kondisinya masing-masing yang hanya dapat dikembangkan secara optimal jika pengelolaannya dilakukan secara terdesentralisasi dan otonom di daerah yang bersangkutan. Bahkan seharusnya otonomi itu juga dimiliki oleh masyarakat dan para pelaku ekonomi untuk lebih mengoptimalkan potensi dan karakter masing-masing. Desentralisasi dan otonomi ekonomi bukan sesuatu yang sempit terbatas hanya pada desentralisasi pemerintah dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (sehingga menimbulkan "sentralisasi" baru di daerah), tetapi harus menjadi suatu proses untuk lebih meningkatkan otonomi masyarakat secara luas.

Ketiga arus besar di atas kiranya saling jalin menjalin menjadi suatu "larutan" yang menyatu. Ekonomi yang adil tanpa eksploitasi mengharuskan penghargaan atas keberagaman, keberagaman membutuhkan desentralisasi dan otonomi, dan otonomi hanya dapat dikembangkan secara produktif dan memberi manfaat jika ada keadilan. Ketiganya saling mensyaratkan dan menguatkan dan menjadi satu kesatuan proses. Fenomena itulah yang tampaknya semakin kuat mewarnai perekonomian Indonesia, dan pembangunan ekonomi semakin tidak bisa menghindari diri untuk tidak mengakomodasikan berbagai unsur yang terkandung dalam ketiga komponen di atas.
***
Mencermati tingkat perkembangannya yang sekarang ada di Indonesia, apakah proses perubahan tersebut sudah selesai? Apakah kecenderungan pembaruan perekonomian Indonesia itu sudah menemukan "samudra" tujuannya? Jawabannya tentu belum. Proses yang terjadi masih jauh dari tujuan akhirnya. Di satu sisi, ketiga arus besar yang telah diungkapkan di atas masih berada pada tahap yang awal. Di sisi lain, masih ada unsur lain yang akan segera menjadi "ingredient" dari arus besar perubahan tersebut.

Pengikisan praktek ekonomi yang tidak adil dan eksploitatif masih memiliki perjalanan yang panjang. Kegiatan ekonomi berbasis "keluarga-keluarga" (bukan ekonomi kekeluargaan) memang mungkin sudah mulai berkurang, tetapi dominasi beberapa perusahaan besar berbasis sumberdaya impor, mengekspoitasi sumberdaya lokal, dan menguasai pasardomestik masih terus berlanjut. 

Buruh memang sudah mulai mendapat hak-haknya, tetapi itupun masih sangat terbatas. Petanilah yang masih belum banyak beranjak kondisinya. Perlindungan hukum atas akses produktifnya masih terbatas, kapital hasil usaha produktif di pedesaan disedok oleh sistem perbankan dan hanya separuhnya yang dikembalikan, posisinya dalam persaingan internasional juga belum mendapat cukup perlindungan. Apresiasi terhadap keberagaman juga masih menghadapi tantangan kebutuhan pencapaian efisiensi-segera (instant efficiency) yang selama ini tampak diperoleh dari proses produksi yang serba seragam. Proses desentralisasi dan otonomi juga masih menghadapi tantangan proses belajar (learning process) dalam berbagai hal di samping timbulnya gejala "re-sentralisasi" di daerah. Intinya, arus besar pembangunan ekonomi sedang bergerak, walaupun mungkin kecepatan dan percepatannya belum sebesar yang diharapkan.

Untuk itu, usaha terus menerus untuk mendorong percepatan itu akan selalu berguna. Namun perlu pula disadari bahwa tantangan untuk itu cukup besar. Tantangan itu tidak cukup hanya diatasi dengan mengganti seorang presiden atau membatasi peran keluarga tertentu. Tantangan terhadap arus progresif perkembangan ekonomi tersebut mencakup pula sistem manajemen perekonomian, sebagian dalam lingkup ekonomi mikro tetapi terutama ada pada manajemen ekonomi makro. Hal ini terlihat dari berbagai bentuk kebijakan fiskal, moneter, perdagangan internasional, dan berbagai kebijakan pengaturan kelembagaan ekonomi yang "lebih pro" pada pola ekonomi "lama". Para pengambil keputusan itu lebih memperhatikan indikator perkembangan ekonomi yang semu dan tidak mengakar pada kegiatan ekonomi riil yang dilakukan oleh masyarakat, seperti indeks harga saham atau nilai tukar rupiah. Mereka juga cenderung menutup mata pada kenyataan bahwa ekonomi sebenarnya dijalankan oleh jutaan rakyat kecil yang dengan caranya sendiri mampu mengatasi berbagai kesulitan dan terus berkembang. Lebih dari itu, tantangan terbesar dari bergeraknya arus besar adalah pola pikir serta landasan teori dan konsep yang diyakini oleh banyak pengambil kebijakan, guru-gurunya, dan murid-muridnya. Dasar pemikiran yang diimpor dari sistem ekonomi yang berbeda dari masyarakat dengan latar belakang dan kondisi sosial budaya yang berbeda tersebut ternyata telah sangat berurat berakar dalam elite pengambilan keputusan ekonomi, walaupun sebenarnya mereka adalah juga orang-orang yang cerdas, rasional, dan memiliki daya nalar tinggi untuk menilai apakah sesuatu itu sesuai dengan kepentingan rakyat auat tidak. Tidak mengherankan jika kondisi ini ditengarai juga merupakan hasil dari usaha sistemis yang dilakukan pihak lain.

Dengan kembali menegaskan bahwa ekonomi Indonesia sebenarnya dibangun terutama oleh ekonomi rakyat banyak yang multidimensi dan dengan dinamika yang sangat tinggi, maka perkembangan ekonomi tidak dapat lagi dipisahkan dari perkembangan aspek lain dalam masyarakat seperti perkembangan sosiologis, politik, teknologi, dan sebagainya. Oleh sebab itu disamping ketiga kecenderungan di atas, masih terdapat pula beberapa komponen kecenderungan yang akan segera pula bergerak, dan tidak adak dapat lebih lama lagi ditahan oleh pemikiran "lama" tersebut. Pertama, dorongan untuk membangun kegiatan ekonomi yang mandiri dan berdaulat. Aspek ini terkait erat dengan tiga kecenderungan pertama yang telah diuraikan di atas. Eksploitasi dan ketidak-adilan akan terus berlanjut jika tidak ada demokrasi. Demokrasipun hanya akan menjadi rangkaian "mekanis-formalistik" jika tidak terdapat kemandirian dan kedaulatan. Kemandirian dan kedalulatan itu harus ditegakkan mulai dari para pelaku usaha individual hingga tingkat negara. Banyak contoh dapat dikemukakan bahwa proses yang ekploitatif "terpaksa diterima" karena tidak ada kemandirian dan kedaulatan dalam berekonomi.

Kecenderungan penting yang juga akan segera dan harus didorong prosesnya adalah kecenderungan untuk membangun kegiatan ekonomi yang taat hukum, beretika, dan bermoral. Demokrasi hanya akan menjadi unjuk kekuatan dan pencarian jumlah suara mayoritas jika tidak ada hukum, etika, dan kesantunan berkehidupan. Hukumpun hanya akan menjadi tumpukan peraturan tanpa jiwa jika tidak ada moral "baik" yang melandasinya.
Tampaknya kecenderungan ke arah kemandirian dan kedaulatan ekonomi plus ekonomi yang mematuhi hukum, etika dan bermoral sudah tidak dapat dibendung lagi untuk harus segera digulirkan. Memang akan sangat sulit memperkirakan bagaimana wujud dari pergerakan kecenderungan itu nantinya, mungkin akan memakan "biaya yang besar" tetapi mudah-mudahan dapat bergerak secara natural walaupun tetap diharapkan dapat dipercepat. Apapun bentuknya,kelima elemen tersebut di atas tampaknya akan menjadi elemen-elemen utama yang membentuk arus besar perubahan perkembangan ekonomi Indonesia. Kecenderungan perubahan itu bukan merupakan suatu alternatif, tetapi sebaliknya sebenarnya adalah arus utama dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Saat ini memang seperti tidak terlihat demikian, terutama karena memang masih banyak pikiran, sistem, dan usaha untuk menghalanginya.
***
Catatan khusus tentang Prof. Mubyarto dan Ekonomi Pancasila. Sangat sedikit akademisi di Indonesia yang memiliki karakter pemikiran tersendiri, konsisten dan berintegritas dalam pemikiran itu, sekaligus mendapat kesempatan untuk membawakan pemikirannya dalam berbagai panggung pengambilan keputusan ekonomi. Diantara yang sangat sedikit itu Prof. Mubyarto adalah salah seorang diantaranya. Dimulai dengan tonggak 1979-1981 dengan menyatakan pemikiran mengenai Ekonomi Pancasila, dalam 20 tahun terakhir Prof. Mubyarto telah menjalani berbagai "liku-liku" perjalanan mewujudkan suatu konsep pemikiran, mulai dari debat diantara akademisi hingga menjadi pejabat tinggi negara yang diberi mandat menjalankan suatu program yang dirancang sesuai dengan pemikiran tersebut, hingga "diakhiri" dengan kesempatan menyusun kembali undang-undang dasar. Dalam semua kesempatan ini Prof. Mubyarto selalu memberikan tampilan konsistensi dan integritas yang sangat tinggi. Sungguh suatu referensi penting yang mampu memberi inspirasi.

Melihat 20 tahun ke depan, mungkin baik jika sedikit dicermati apa yang terjadi 20 tahun yang lalu. Pertanyaan pertama yang muncul adalah mengapa perjuangan itu belum menunjukkan hasil seperti yang diharapkan? Jawabannya bisa beragam. Mungkin karena "lawan" yang dihadapi memang sangat "besar dan kuat" sehingga sulit untuk ditaklukkan, bahkan hanya untuk mempengaruhinyapun sangat sulit walaupun kita sudah berada di "dalam". Atau mungkin cara yang selama ini dilakukan yang sebenarnya kurang tepat.

Dalam ilmu perang, menyesali mengapa lawan begitu kuat tidak ada gunanya, yang lebih penting adalah bagaimana menyusun strategi untuk dapat mengatasi lawan yang kuat tersebut. Apakah strategi yang ditawarkan 20 tahun yang lalu masih tepat dan relevan? Ataukah ada tawaran strategi yang berbeda yang bisa diajukan untuk mewujudkan idealisme yang tetap konsisten. Mungkin pertanyaan itu sebenarnya adalah pertanyaan yang diajukan Prof. Mubyarto sendiri kepada mereka yang bersedia menerima mandat untuk melanjutkan perjuangannya.

Kekeliruan Pengajaran Ilmu Ekonomi di Republik Indonesia

Jika di sejumlah negara Barat yang maju perekonomiannya pakar-pakar ekonomi sudah lama mempertanyakan realisme dan relevansi ilmu ekonomi bagi pembangunan suatu masyarakat/ bangsa, di Indonesia yang baru memiliki Doktor Ekonomi pertama tahun 1943, masalah ini sangat sedikit dipersoalkan. Dosen-dosen/pengajar ilmu ekonomi di perguruan-perguruan tinggi tak banyak yang membaca buku-buku yang bersifat kritis tentang ini. Terakhir, kiranya tidak banyak ekonom arus utama yang berminat membaca buku Matinya Ilmu Ekonomi (The Death of Economics) tulisan Paul Ormerod tahun 1994, padahal penulisnya pernah datang ke Jakarta (15 Januari 1998), dan berdiskusi dengan para ekonom senior kita.

Namun jika Paul Samuelson sendiri sebagai salah seorang ”Nabi” ilmu ekonomi Neoklasik menyatakan bahwa ilmu ekonomi akan lebih besar kamungkinan diubah oleh teman-temannya daripada para pengkritiknya, kiranya pakar-pakar ekonomi Indonesia harus tidak mudah berpuas diri dengan ilmu yang digelutinya.  Terutama para dosen perguruan tinggi ada baiknya menanyakan pada sarjana-sarjana lulusannya, sejauh mana ilmu ekonomi yang dipelajari di perguruan tinggi benar-benar ”memberi bekal”  memadai untuk ”bekerja” atau membuat analisis-analisis permasalahan ekonomi Indonesia. Pada tahun 1976 telah terbit buku Economics in The Future yang sangat tidak puas dengan ekonomika Neoklasik. Jan Tinberger dan Gunnar Myrdal mengusulkan ilmu ekonomi yang tidak (induktif) empirik dan kelembagaan

Politik Pertnian yang mensejahtrakan Para petani

Kita semua mengetahui, bahwa kegiatan pertanian memiliki ciri yang khas, unik, dan berbeda dengan kegiatan manusia lainnya. Pertanian dasarnya adalah iklim, tanah, air, dengan tanaman atau hewan yang membentuk jejaring ekologi yang sangat kompleks dimana manusia berada di dalamnya. Ditambah kekhasan lain, seperti struktur kepulauan Indonesia, heterogenitas sumberdaya alam, plasma nutfah dan lingkungan menjadi ciri diversitas pertanian, merupakan bagian keunikan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dunia dengan jumlah penduduk urutan keempat terbesar dunia.

Ke depan, masalah utama yang kita hadapi adalah bagaimana mengatasi kemiskinan, pengangguran, kesenjangan, dan kerusakan lingkungan hidup yang semakin hari tampaknya semakin parah. Petani sebagai subyek terbesar dalam masyarakat pertanian, dalam banyak hal berusaha dengan sifat small scale, penuh keterbatasan aset, teknologi dan ketrampilan. Meski mereka telah membuktikan sebagai real investor dalam pembangunan pertanian selama ini, tetap dibutuhkan jaminan untuk mengatasi resiko dan ketidakpastian (risk and uncertainty) usahanya. Jaminan terhadap struktur pasar produknya yang oligopolistik dalam wujud perusahaan multinasional, jaminan terhadap teknologi dan nilai tambah kegiatan produktifnya. Potret saat ini mencerminkan kondisi bahwa disain pembangunan pertanian kita belum mampu mengintegrasikan antara kegiatan ekonomi primer dengan kegiatan industri pengolahan dalam suatu integrasi yang solid dan padu, sehingga nilai tambah yang terjadi senantiasa seringkali bukan dinikmati oleh mereka.

Sebenarnya, banyak pelajaran telah kita peroleh. Bukti empiris menunjukkan bahwa kemajuan negara-negara umumnya sangat ditentukan oleh kemajuan pertaniannya. Kemajuan pertanian bukan hanya diperlihatkan oleh peningkatan produktivitas, efisiensi dan daya saing produk-produk pertaniannya semata, tetapi lebih kepada kemajuan dan kesejahteraan masyarakat petani dan perdesaan, dalam suatu proses transformasi ekonomi yang terjadi secara berkelanjutan apabila pertanian tumbuh menjadi sektor yang kuat dan sehat. Akar dari berkembangnya proses tersebut dicirikan oleh berkembangnya industri-industri berbasis pertanian sebagai landasan kokoh dari perkembangan perekonomian suatu negara maju. Kemajuan-kemajuan yang dicapai Jepang, Korea Selatan, Malaysia dan Thailand dapat dijadikan cermin bagi Indonesia.

Mungkin kekeliruan kita selama ini adalah menempatkan ideologi pertanian terbatas hanya dalam konteks fisik dan kapital semata. Peningkatan produksi, produktivitas, ketahanan dan keamanan pangan, agribisnis, devisa adalah parameter-parameter penting, akan tetapi terkesan mengesampingkan aspek terpenting lain dari pertanian itu sendiri, yaitu petani dan kesejahteraannya. Ideologi semacam itu lebih bersifat hedonistik, meski memang sering menuai berbagai kisah sukses seperti tercapainya swasembada, akan tetapi sekaligus terlihat tanda-tanda ‘peminggiran’ subyek petani dan kesejahteraannya. Sejauh ini kita bahkan seringkali masih dihadapkan pada keprihatinan petani-petani di perdesaan, yang merupakan bagian terbesar masyarakat yang masih berada di “barisan belakang” dalam stratum kesejahteraan penduduk umumnya.

Mestinya, ideologi yang harus kita bangun adalah mendorong agar petani-petani di Indonesia memiliki hak-hak khusus seperti yang dapat dilihat berlaku di negara-negara maju. Hak-hak khusus ini diperlukan mengingat karakter dari pertanian itu sendiri, yaitu sebagai landasan berkembangnya peradaban yang lebih maju di satu pihak, tetapi di pihak lain petani akan selalu berada pada posisi yang lemah sebagai akibat dari karakter produk yang dihasilkannya. Tidak mungkin suatu masyarakat berkembang apabila kekurangan pangan, bahkan mengalami food-traps seperti saat ini. Tetapi di pihak lain, pangan ini memiliki nilai tukar yang rendah, bahkan nilai tambahnya tidak dinikmati oleh para petani sebagai produsennya. Oleh karena itu, menjadi hal yang ideal apabila kepentingan petani dan kepentingan negara menjadi satu tanpa meniadakan kepentingan yang satu dengan yang lainnya. Tanpa adanya ideologi semacam ini, program swasembada pangan, misalnya, dapat bermanfaat secara nasional tetapi dapat saja merugikan petani, apabila pendapatan petani tidak dijamin.

Saat ini, lebih-lebih di tahun 2011 yang masih berada di bawah ketidakpastian perubahan iklim dan suasana global yang sangat dinamis, kita sangat membutuhkan bangunan modal sosial pertanian yang lebih kokoh, dengan menumbuhkan semangat dan motivasi menuju peningkatan kesejahteraan petani sebagai subyek. Politik ini pada dasarnya adalah bagaimana melindungi petani dari ketidakadilan pasar (input, lahan, modal, output, dan lainnya). Politik tersebut sebagai bagian penting untuk memberdayakan petani, yang pada dasarnya dapat diimplementasikan melalui berbagai strategi pengelolaan pasar sebagai upaya ‘menjamin’ kesejahteraan petani dari ketidakadilan dan resiko, kebijakan harga input pertanian, kebijakan penyediaan lahan pertanian, permodalan, pengendalian hama dan penyakit, dan kebijakan penanganan dampak bencana alam. Sikap dasar pembangunan pertanian seperti itu harus ditumbuhkan untuk meningkatkan semangat dan motivasi serta keadilan bagi petani sebagai human capital di perdesaan, untuk menghadapi era global yang tidak pernah menjamin terwujudnya keadilan pasar.

Politik kedua adalah bagaimana mengembangkan nilai tambah, yang pada dasarnya berfokus pada bagaimana mengimplementasikan strategi umum dalam memberikan arah bagi pengembangan industrialisasi pertanian. Strategi ini meliputi bagaimana upaya menetapkan berbagai fokus dan prioritas pengembangan industri pertanian berbasis pada sumber bahan baku yang dihasilkan di dalam negeri, bagaimana upaya pengembangan produk-produk antara sebagai bahan dasar untuk berbagai penggunaan (diversifikasi horisontal maupun vertikal) untuk membangun ketahanan dan kemandirian pangan yang kuat dan berkelanjutan, misalnya bagaimana strategi untuk mengembangkan jaringan distribusi dan transportasi pertanian yang terutama berbasis wilayah kepulauan (pelabuhan dan terminal produk pertanian sebagai unsur pokok, dsbnya), bagaimana strategi mengembangkan sistem informasi dan pemasaran pertanian, dan bagaimana strategi memanfaatkan limbah-limbah industri pertanian, serta berbagai strategi fiskal untuk memberikan insentif berkembangnya industri pertanian.

Kita tunggu langkah-langkah bijak dari para pemangku kebijakan.

Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat


Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan.  Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik (political will), tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil (saya tidak membuat penilaian terhadap sistem JPS), adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat kecil sendiri (Bandingkan dengan pendapat Ignas Kleden, 2000).    

Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action.  Aksi membagi-bagi uang  secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud.  Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material.  Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka saya khawatir cerita keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan terulang.  Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy.  Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat  counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya.  Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar.  Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat.  Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.

Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangan dalam affirmative action policynya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat.  Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat tentang timing dan process di mana pemerintah harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi rakyat.  Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena sampai saat ini masih banyak pihak (di luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan momen keberpihakan pemerintah ini sebagai free-rider.  Justru kelompok ini yang enggan mendorong adanya proses phasing-out untuk mengkerasi mekanisme pasar yang sehat dalam rangka mendorong keberhasilan program ekonomi kerakyatan.  Kita semua masih mengarahkan seluruh energi untuk mendukung program keberpihakan pemerintah pada UKM dan koperasi sesuai dengan tuntutan TAP MPR.  Tapi kita lupa bahwa ada tahapan lainnya yang penting dalam program keberpihakan dimaksud, yaitu phasing-out process yang harus pula dipersiapkan sejak awal.  Kalau tidak, maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama seperti apa yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru.

Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Pasar Nasional


Ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya.  Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar.  Perlu dipahami bahwa dalam ruang ekonomi nasional pun terdapat sejumlah aktor ekonomi (konglomerat) dengan bentuk usaha yang kontras dengan apa yang diragakan oleh sebagian besar pelaku ekonomi rakyat.  Memiliki modal yang besar, mempunyai akses pasar yang luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan menejemen usaha modern. Kenapa mereka tidak digolongkan juga dalam ekonomi kerakyatan?.  Karena jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang sebenarnya.  Atau dengan kata lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai ekstrim terhadap totalitas ekonomi nasional.  Golongan yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua) lebih banyak tumbuh karena mampu membangun partner usaha yang baik dengan penguasa sehingga memperoleh berbagai bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis.  Mereka lahir dan berkembang dalam suatu sistem ekonomi yang selama ini lebih menekankan pada peran negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui pengontrolan perusahan swasta dengan rezim insentif yang memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha yang besar yang melahirkan praktik-praktik anti persaingan.   
 
Lahirnya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejemen bisnis yang baik  menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur rapuh terhadap persaingan pasar.  Mereka tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional dalam sistem ekonomi pasar.  Padahal ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right) untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang.  Saya perlu menggaris bawahi bahwa yang patut mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama regim orde baru adalah implementasi kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tidak tepat dalam sistem ekonomi pasar, bukan ekonomi pasar itu sendiri.  Dalam pemahaman seperti ini, saya merasa kurang memiliki justifikasi empirik untuk mempertanyakan kembali sistem ekonomi pasar, lalu mencari suatu sistem dan paradigma baru di luar sistem ekonomi pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi nasional.  Bagi saya dunia “pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah dan adil untuk dibayangkan. Tapi sayangnya sangat sulit untuk diacu untuk mencapai keseimbangan  dalam tatanan perekonomian nasional. Karena konsep “pasar” yang disodorkan oleh Adam Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah akan ada.  Namun demikian tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam Smith yang relatif bersifat utopis ini harus diabaikan.  Persepektif yang perlu dianut adalah bahwa keindahan, keadilan dan keseimbangan yang dibangun melalui mekanisme “pasar”nya Adam Smith adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya, minimal telah dibuktikan melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakukan adalah upaya untuk mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai regulasi pemerintah sebagai wujud intervensi yang berimbang dan kontekstual.  Bukan sebaliknya membangun suatu format lain di luar “ekonomi pasar” untuk diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih mendapat tanda tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian teoritis-empiris.

Mari kita membedah lebih jauh tentang konsep ekonomi kerakyatan.  Pengalaman pembangunan ekonomi Indonesia yang dijalankan berdasarkan mekanisme pasar sering tidak berjalan dengan baik, khusunya sejak masa orde baru. Kegagalan pembangunan ekonomi yang diragakan berdasarkan mekanisme pasar ini antara lain karena kegagalan pasar itu sendiri, intervensi pemerintah yang tidak benar, tidak efektifnya pasar tersebut berjalan, dan adanya pengaruh eksternal. Kemudian sejak sidang istimewa (SI) 1998, dihasilkan suatu TAP MPR mengenai Demokrasi Ekonomi, yang antara lain berisikan tentang keberpihakan yang sangat kuat terhadap usaha kecil-menengah serta koperasi.  Keputusan politik ini sebenarnya menandai suatu babak baru pembangunan ekonomi nasional dengan perspektif yang baru, di mana bangun ekonomi yang mendominasi regaan struktur ekonomi nasional mendapat tempat tersendiri.  Komitmen pemerintah untuk mengurangi gap penguasaan aset ekonomi antara sebagian besar pelaku ekonomi di tingkat rakyat dan sebagian kecil pengusaha besar (konglomerat), perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak.  Hasil yang diharapkan adalah terciptanya struktur ekonomi yang berimbang antar pelaku ekonomi dalam negeri, demi mengamankan pencapaian target pertumbuhan (growth) (Gillis et al., 1987).  Bahwa kegagalan kebijakan pembangunan ekonomi nasional masa orde baru dengan keberpihakan yang berlebihan terhadap kelompok pengusaha besar perlu diubah.  Sudah saatnya dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah dan bangun usaha koperasi mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang sekaligus mengejar ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan struktur ekonomi nasional.  Sekali lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak.  Hal yang masih kurang jelas dalam TAP MPR dimaksud adalah apakah perspektif pembangunan nasional dengan keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini masih dijalankan melalui mekanisme pasar?  Dalam arti apakah intervensi pemerintah dalam bentuk keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini adalah benar-benar merupakan affirmative action untuk memperbaiki distorsi pasar yang selama ini terjadi karena bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar yang tidak benar?  Ataukah pemerintah mulai ragu dengan bekerjanya mekanisme pasar itu sendiri sehingga berupaya untuk meninggalkannya dan mencoba merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru ?.  Nampaknya kita semua berada pada pilahan yang dilematis.  Mau meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi nasional, kita masih ragu-ragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar.  Mau merujuk pada bekerja suatu mekanisme yang baru (apapun namanya), dalam prakteknya belum ada satu negarapun yang cukup berpengalaman serta yang paling penting menunjukkan keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri belum berpengalaman (ibarat membeli kucing dalam karung).  Bukti keragu-raguan ini tercermin dalam TAP MPR hasil sidang istimewa itu sendiri, dimana demokrasi ekonomi nasional tidak semata-mata dijalankan dengan keberpihakan habis-habisan pada usaha kecil-menengah dan koperasi, tapi perusahaan swasta besar dan BUMN tetap mendapat tempat bahkan mempunyai peran yang sangat strategis.

Bagi saya, sebenarnya keragu-raguan ini tidak perlu terjadi, jika kita semua jernih melihat dan jujur untuk mengakui bahwa kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama ini terjadi bukan disebabkan oleh karena ketidakmampuan mekanisme pasar mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih disebabkan karena pasar sendiri tidak diberi kesempatan untuk bekerja secara baik.  Bentuk campur tangan pemerintah (orde baru) yang seharusya diarahkan untuk menjamin bekerjanya mekanisme pasar guna mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, ternyata dalam prakteknya lebih diarahkan pada keberpihakan yang berlebihan pada pengusaha besar (konglomerat) dalam bentuk insentif maupun regim proteksi yang ekstrim. Pengalaman pembangunan ekonomi nasional dengan kebijakan proteksi bagi kelompok industri tertentu (yang diasumsikan sebagai infant industry) dan diharapkan akan menjadi “lokomotif “ yang akan menarik gerbong ekonomi lainnya, pada akhirnya bermuara pada incapability dan inefficiency dari industri yang bersangkutan (contoh kebijakan pengembangan industri otomotif).  Periode waktu yang telah ditetapkan untuk berkembang menjadi suatu bisnis yang besar dalam skala dan skop serta melibatkan sejumlah besar pelaku ekonomi di dalamnya, menjadi tidak bermakna saat dihadapkan pada kenyataan bahwa bisnis yang bersangkutan masih tetap berada pada level perkembangan “bayi”, karena dimanjakan oleh berbagai insentif dan berbagai bentuk proteksi.   
 
Saya juga kurang setuju dengan pendapat bahwa mekanisme pasar tidak dapat menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonomi nasional.  Pendapat seperti ini juga tidak benar secara absolut.  Buktinya negara-negara maju yang selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar secara baik, mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara baik pula.  Sudah menjadi pengetahuan yang luas bahwa negara-negara maju (termasuk beberapa negara berkembang, seperti Singapura) mempunyai suatu sistem social security jangka panjang (yang berfungsi secara permanen) untuk membantu kelompok masyarakat yang inferior dalam kompetisi memperoleh akses ekonomi.  Justru negara-negara yang masih setengah hati mendorong bekerjanya mekanisme pasar (seperti Indonesia) tidak mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara mantap.  Sebenarnya sudah banyak program jaminan sosial temporer semacam JPS di Indonesia, namun pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, karena kurang mantapnya perencanaan, terjadi banyak penyimpangan dalam implementasi, serta lemahnya pengawasan.
Fungsi sosial dapat berjalan dengan baik dalam mekanisme pasar, jika ada intervensi pemerintah melalui perpajakan, instrumen distribusi kekayaan dan pendapatan, sistem jaminan sosial, sistem perburuhan, dsb.  Ini yang namanya affirmative action yang terarah oleh pemerintah dalam mekanisme pasar (Bandingkan dengan pendapat Anggito Abimanyu, 2000).

Jadi yang salah selama ini bukan mekanisme pasar, tetapi kurang adanya affirmative action yang jelas oleh pemerintah  demi menjamin bekerjanya mekanisme pasar.  Yang disebut dengan affirmative action seharusnya lebih dutujukkan pada disadvantage group (sebagian besar rakyat kecil), bukan sebaliknya pada konglomerat. Kalau begitu logikanya, maka kurang ada justifikasi logis yang jelas untuk mengabaikan bekerjanya mekanisme pasar dalam mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Apalagi dengan merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru.  Ini sama artinya dengan “sakit di kaki, kepala yang dipenggal”.  Bagi saya, harganya terlalu mahal bagi rakyat jika kita mencoba-coba dengan sesuatu yang tidak pasti.   Pada saat yang sama, rakyat sudah terlalu lama menunggu dengan penuh pengorbanan, untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi nasional yang dapat dinikmati secara bersama. 

Perlu dicatat, bahwa disamping obyek keberpihakan selama pemerintah orde baru dalam kebijakan ekonomi nasionalnya salah alamat, pemerintah sendiri kurang mempunyai acuan yang jelas tentang kapan seharusnya phasing-out process diintrodusir dalam tahapan intervensi, demi mengkreasi bekerjanya mekanisme pasar dalam program pembangunan ekonomi nasional.  Akibatnya tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) terhadap obyek keberpihakan (dalam mekanisme pasar) untuk mengambil peran sebagai lokomotif keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. 

Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang salah atau kurang sempurna dengan konsep ekonomi kerakyatan?.  Sejak awal saya katakan bahwa semua pihak perlu mendukung affirmative action policy pada usaha kecil-menengah dan koperasi yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan tuntutan TAP MPR.  Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik (bila perlu pada daerah kabupaten/kota) dengan tingkat kemandirian yang tinggi, kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipatif, adanya persaingan yang sehat, keterbukaan/demokratis, dan pemerataan yang berkeadilan.  Semua ini merupakan ciri-ciri dari Ekonomi Kerakyatan yang kita tuju bersama (Prawirokusumo, 2001). Kita akan membahas lebih jauh tentang kekurangan konsep ekonomi kerakyatan  yang di dengungkan oleh pemerintah pada sub-pokok bahasan di bawah ini.

Ekonomi kerakyatan dn pemberdayaan ekonomi rakyat

Ruang Ekonomi Kerakyatan Indonesia
Saat mendapat tugas untuk mebahas konsep ekonomi kerakyatan dalam kaitan dengan makalah Prof. Mubyarto tentang “Ekonomi Kerakyatan dalam Era Globalisasi dan Otonomi Daerah”, saya mencoba untuk menangkap (baca: memahami) makna kata ‘rakyat’ secara utuh.  Akhirnya saya sampai pada pemahaman bahwa rakyat sendiri bukanlah sesuatu obyek yang bisa ‘ditangkap’ untuk diamati secara visual, khususnya dalam kaitan dengan pembangunan ekonomi.  Kata rakyat merupakan suatu konsep yang abstrak dan tidak dapat di’tangkap’ untuk diamati perubahan visual ekonominya. Kata rakyat baru bermakna secara visual jika yang diamati adalah individualitas dari rakyat (Asy’arie, 2001).   Ibarat kata ‘binatang’, kita tidak bisa menangkap binatang untuk mengatakan  gemuk atau kurus, kecuali binatang itu adalah misalnya seekor tikus.  Persoalannya ada begitu banyak obyek yang masuk dalam barisan binatang (tikus, kucing, ular, dll.), sehingga kita harus jelas mengatakan binatang yang mana yang bentuk visualnya gemuk atau kurus.  Pertanyaan yang sama harus dikenakan pada konsep ekonomi rakyat, yaitu ekonomi rakyat yang mana, siapa, di mana dan berapa jumlahnya.  Karena dalam dimensi ruang Indonesia semua orang (Indonesia) berhak untuk menyandang predikat ‘rakyat’.  Buruh tani, konglomerat, koruptor pun berhak menyandang predikat ‘rakyat’.  Sama seperti jika seekor kucing digabungkan dengan 100 ekor tikus dalam satu ruang, maka semuanya disebut binatang.  Walaupun dalam perjalanannya seekor kucing dapat saja menelan 100 ekor tikus atas nama binatang.
Ilustrasi di atas saya sampaikan untuk membuka ruang diskusi tetang ekonomi kerakyatan dalam perspektif yang terarah dalam kerangka mengagas pikiran Prof. Mubyarto.  Kita harus jelas mengatakan rakyat yang mana yang seharusnya kita tempatkan dalam ruang ekonomi kerakyatan Indonesia.  Selanjutnya, bagaimana kita memperlakukan rakyat dimaksud dan apakah perlakuan terhadapnya selama ini sudah benar. Atau apakah upaya menggiring rakyat ke dalam ruang ekonomi kerakyatan selama ini sudah berada dalam koridor yang benar. 
Dalam konteks ilmu sosial, kata rakyat terdiri dari satuan individu pada umumnya atau jenis manusia kebanyakan.  Kalau diterjemahkan dalam konteks ilmu ekonomi, maka rakyat adalah kumpulan kebanyakan individu dengan ragaan ekonomi yang relatif sama.   Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’.  Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat.  Sedangkan ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha.  Dalam ruang Indonesia, maka kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi.  Karena kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia. 

Ekonomi Kerakyatan dan Sistem Ekonomi Pasar
Ekonomi rakyat tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya.  Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar.  Perlu dipahami bahwa dalam ruang ekonomi nasional pun terdapat sejumlah aktor ekonomi (konglomerat) dengan bentuk usaha yang kontras dengan apa yang diragakan oleh sebagian besar pelaku ekonomi rakyat.  Memiliki modal yang besar, mempunyai akses pasar yang luas, menguasai usaha dari hulu ke hilir, menguasai teknologi produksi dan menejemen usaha modern. Kenapa mereka tidak digolongkan juga dalam ekonomi kerakyatan?.  Karena jumlahnya hanya sedikit sehingga tidak merupakan representasi dari kondisi ekonomi rakyat yang sebenarnya.  Atau dengan kata lain, usaha ekonomi yang diragakan bernilai ekstrim terhadap totalitas ekonomi nasional.  Golongan yang kedua ini biasanya (walaupun tidak semua) lebih banyak tumbuh karena mampu membangun partner usaha yang baik dengan penguasa sehingga memperoleh berbagai bentuk kemudahan usaha dan insentif serta proteksi bisnis.  Mereka lahir dan berkembang dalam suatu sistem ekonomi yang selama ini lebih menekankan pada peran negara yang dikukuhkan (salah satunya) melalui pengontrolan perusahan swasta dengan rezim insentif yang memihak serta membangun hubungan istimewa dengan pengusaha-pengusaha yang besar yang melahirkan praktik-praktik anti persaingan.  
Lahirnya sejumlah pengusaha besar (konglomerat) yang bukan merupakan hasil derivasi dari kemampuan menejemen bisnis yang baik  menyebabkan fondasi ekonomi nasional yang dibangun berstruktur rapuh terhadap persaingan pasar.  Mereka tidak bisa diandalkan untuk menopang perekonomian nasional dalam sistem ekonomi pasar.  Padahal ekonomi pasar diperlukan untuk menentukan harga yang tepat (price right) untuk menentukan posisi tawar-menawar yang imbang.  Saya perlu menggaris bawahi bahwa yang patut mendapat kesalahan terhadap kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama regim orde baru adalah implementasi kebijakan pembangunan ekonomi nasional yang tidak tepat dalam sistem ekonomi pasar, bukan ekonomi pasar itu sendiri.  Dalam pemahaman seperti ini, saya merasa kurang memiliki justifikasi empirik untuk mempertanyakan kembali sistem ekonomi pasar, lalu mencari suatu sistem dan paradigma baru di luar sistem ekonomi pasar untuk dirujuk dalam pembangunan ekonomi nasional.  Bagi saya dunia “pasar” Adam Smith adalah suatu dunia yang indah dan adil untuk dibayangkan. Tapi sayangnya sangat sulit untuk diacu untuk mencapai keseimbangan  dalam tatanan perekonomian nasional. Karena konsep “pasar” yang disodorkan oleh Adam Smit sesungguhnya tidak pernah ada dan tidak pernah akan ada.  Namun demikian tidak harus diartikan bahwa konsep pasar Adam Smith yang relatif bersifat utopis ini harus diabaikan.  Persepektif yang perlu dianut adalah bahwa keindahan, keadilan dan keseimbangan yang dibangun melalui mekanisme “pasar”nya Adam Smith adalah sesuatu yang harus diakui keberadaannya, minimal telah dibuktikan melalui suatu review teoritis. Yang perlu dilakukan adalah upaya untuk mendekati kondisi indah, adil, dan seimbang melalui berbagai regulasi pemerintah sebagai wujud intervensi yang berimbang dan kontekstual.  Bukan sebaliknya membangun suatu format lain di luar “ekonomi pasar” untuk diacu dalam pembangunan ekonomi nasional, yang keberhasilannya masih mendapat tanda tanya besar atau minimal belum dapat dibuktikan melalui suatu kajian teoritis-empiris.
Mari kita membedah lebih jauh tentang konsep ekonomi kerakyatan.  Pengalaman pembangunan ekonomi Indonesia yang dijalankan berdasarkan mekanisme pasar sering tidak berjalan dengan baik, khusunya sejak masa orde baru. Kegagalan pembangunan ekonomi yang diragakan berdasarkan mekanisme pasar ini antara lain karena kegagalan pasar itu sendiri, intervensi pemerintah yang tidak benar, tidak efektifnya pasar tersebut berjalan, dan adanya pengaruh eksternal. Kemudian sejak sidang istimewa (SI) 1998, dihasilkan suatu TAP MPR mengenai Demokrasi Ekonomi, yang antara lain berisikan tentang keberpihakan yang sangat kuat terhadap usaha kecil-menengah serta koperasi.  Keputusan politik ini sebenarnya menandai suatu babak baru pembangunan ekonomi nasional dengan perspektif yang baru, di mana bangun ekonomi yang mendominasi regaan struktur ekonomi nasional mendapat tempat tersendiri.  Komitmen pemerintah untuk mengurangi gap penguasaan aset ekonomi antara sebagian besar pelaku ekonomi di tingkat rakyat dan sebagian kecil pengusaha besar (konglomerat), perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak.  Hasil yang diharapkan adalah terciptanya struktur ekonomi yang berimbang antar pelaku ekonomi dalam negeri, demi mengamankan pencapaian target pertumbuhan (growth) (Gillis et al., 1987).  Bahwa kegagalan kebijakan pembangunan ekonomi nasional masa orde baru dengan keberpihakan yang berlebihan terhadap kelompok pengusaha besar perlu diubah.  Sudah saatnya dan cukup adil jika pengusaha kecil –menengah dan bangun usaha koperasi mendapat kesempatan secara ekonomi untuk berkembang sekaligus mengejar ketertinggalan yang selama ini mewarnai buruknya tampilan struktur ekonomi nasional.  Sekali lagi, komitmen politik pemerintah ini perlu mendapat dukungan dari berbagai pihak.  Hal yang masih kurang jelas dalam TAP MPR dimaksud adalah apakah perspektif pembangunan nasional dengan keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini masih dijalankan melalui mekanisme pasar?  Dalam arti apakah intervensi pemerintah dalam bentuk keberpihakan kepada usaha kecil-menengah dan koperasi ini adalah benar-benar merupakan affirmative action untuk memperbaiki distorsi pasar yang selama ini terjadi karena bentuk campur tangan pemerintah dalam pasar yang tidak benar?  Ataukah pemerintah mulai ragu dengan bekerjanya mekanisme pasar itu sendiri sehingga berupaya untuk meninggalkannya dan mencoba merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru ?.  Nampaknya kita semua berada pada pilahan yang dilematis.  Mau meninggalkan mekanisme pasar dalam sistem ekonomi nasional, kita masih ragu-ragu, karena pengalaman keberhasilan pembangunan ekonomi negara-negara maju saat ini selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar.  Mau merujuk pada bekerja suatu mekanisme yang baru (apapun namanya), dalam prakteknya belum ada satu negarapun yang cukup berpengalaman serta yang paling penting menunjukkan keberhasilan nyata, bahkan kita sendiri belum berpengalaman (ibarat membeli kucing dalam karung).  Bukti keragu-raguan ini tercermin dalam TAP MPR hasil sidang istimewa itu sendiri, dimana demokrasi ekonomi nasional tidak semata-mata dijalankan dengan keberpihakan habis-habisan pada usaha kecil-menengah dan koperasi, tapi perusahaan swasta besar dan BUMN tetap mendapat tempat bahkan mempunyai peran yang sangat strategis.
Bagi saya, sebenarnya keragu-raguan ini tidak perlu terjadi, jika kita semua jernih melihat dan jujur untuk mengakui bahwa kegagalan-kegagalan pembangunan ekonomi nasional selama ini terjadi bukan disebabkan oleh karena ketidakmampuan mekanisme pasar mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, tetapi lebih disebabkan karena pasar sendiri tidak diberi kesempatan untuk bekerja secara baik.  Bentuk campur tangan pemerintah (orde baru) yang seharusya diarahkan untuk menjamin bekerjanya mekanisme pasar guna mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional, ternyata dalam prakteknya lebih diarahkan pada keberpihakan yang berlebihan pada pengusaha besar (konglomerat) dalam bentuk insentif maupun regim proteksi yang ekstrim. Pengalaman pembangunan ekonomi nasional dengan kebijakan proteksi bagi kelompok industri tertentu (yang diasumsikan sebagai infant industry) dan diharapkan akan menjadi “lokomotif “ yang akan menarik gerbong ekonomi lainnya, pada akhirnya bermuara pada incapability dan inefficiency dari industri yang bersangkutan (contoh kebijakan pengembangan industri otomotif).  Periode waktu yang telah ditetapkan untuk berkembang menjadi suatu bisnis yang besar dalam skala dan skop serta melibatkan sejumlah besar pelaku ekonomi di dalamnya, menjadi tidak bermakna saat dihadapkan pada kenyataan bahwa bisnis yang bersangkutan masih tetap berada pada level perkembangan “bayi”, karena dimanjakan oleh berbagai insentif dan berbagai bentuk proteksi.  
Saya juga kurang setuju dengan pendapat bahwa mekanisme pasar tidak dapat menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonomi nasional.  Pendapat seperti ini juga tidak benar secara absolut.  Buktinya negara-negara maju yang selalu merujuk pada bekerjanya mekanisme pasar secara baik, mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara baik pula.  Sudah menjadi pengetahuan yang luas bahwa negara-negara maju (termasuk beberapa negara berkembang, seperti Singapura) mempunyai suatu sistem social security jangka panjang (yang berfungsi secara permanen) untuk membantu kelompok masyarakat yang inferior dalam kompetisi memperoleh akses ekonomi.  Justru negara-negara yang masih setengah hati mendorong bekerjanya mekanisme pasar (seperti Indonesia) tidak mampu menjalankan fungsi sosial dalam pembangunan ekonominya secara mantap.  Sebenarnya sudah banyak program jaminan sosial temporer semacam JPS di Indonesia, namun pelaksanaannya masih jauh dari memuaskan, karena kurang mantapnya perencanaan, terjadi banyak penyimpangan dalam implementasi, serta lemahnya pengawasan.
Fungsi sosial dapat berjalan dengan baik dalam mekanisme pasar, jika ada intervensi pemerintah melalui perpajakan, instrumen distribusi kekayaan dan pendapatan, sistem jaminan sosial, sistem perburuhan, dsb.  Ini yang namanya affirmative action yang terarah oleh pemerintah dalam mekanisme pasar (Bandingkan dengan pendapat Anggito Abimanyu, 2000).
Jadi yang salah selama ini bukan mekanisme pasar, tetapi kurang adanya affirmative action yang jelas oleh pemerintah  demi menjamin bekerjanya mekanisme pasar.  Yang disebut dengan affirmative action seharusnya lebih dutujukkan pada disadvantage group (sebagian besar rakyat kecil), bukan sebaliknya pada konglomerat. Kalau begitu logikanya, maka kurang ada justifikasi logis yang jelas untuk mengabaikan bekerjanya mekanisme pasar dalam mendukung keberhasilan pembangunan ekonomi nasional. Apalagi dengan merujuk pada suatu mekanisme sistem ekonomi yang baru.  Ini sama artinya dengan “sakit di kaki, kepala yang dipenggal”.  Bagi saya, harganya terlalu mahal bagi rakyat jika kita mencoba-coba dengan sesuatu yang tidak pasti.   Pada saat yang sama, rakyat sudah terlalu lama menunggu dengan penuh pengorbanan, untuk melihat keberhasilan pembangunan ekonomi nasional yang dapat dinikmati secara bersama.
Perlu dicatat, bahwa disamping obyek keberpihakan selama pemerintah orde baru dalam kebijakan ekonomi nasionalnya salah alamat, pemerintah sendiri kurang mempunyai acuan yang jelas tentang kapan seharusnya phasing-out process diintrodusir dalam tahapan intervensi, demi mengkreasi bekerjanya mekanisme pasar dalam program pembangunan ekonomi nasional.  Akibatnya tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) terhadap obyek keberpihakan (dalam mekanisme pasar) untuk mengambil peran sebagai lokomotif keberhasilan pembangunan ekonomi nasional.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang salah atau kurang sempurna dengan konsep ekonomi kerakyatan?.  Sejak awal saya katakan bahwa semua pihak perlu mendukung affirmative action policy pada usaha kecil-menengah dan koperasi yang diambil oleh pemerintah sesuai dengan tuntutan TAP MPR.  Pembangunan harus dikembangkan dengan berbasiskan ekonomi domestik (bila perlu pada daerah kabupaten/kota) dengan tingkat kemandirian yang tinggi, kepercayaan diri dan kesetaraan, meluasnya kesempatan berusaha dan pendapatan, partisipatif, adanya persaingan yang sehat, keterbukaan/demokratis, dan pemerataan yang berkeadilan.  Semua ini merupakan ciri-ciri dari Ekonomi Kerakyatan yang kita tuju bersama (Prawirokusumo, 2001). Kita akan membahas lebih jauh tentang kekurangan konsep ekonomi kerakyatan  yang di dengungkan oleh pemerintah pada sub-pokok bahasan di bawah ini.

Ekonomi Kerakyatan dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Perlu digarisbawahi bahwa ekonomi kerakyatan tidak bisa hanya sekedar komitmen politik untuk merubah kecenderungan dalam sistem ekonomi orde baru yang amat membela kaum pengusaha besar khususnya para konglomerat. Perubahan itu hendaknya dilaksanakan dengan benar-benar memberi perhatian utama kepada rakyat kecil lewat program-program operasional yang nyata dan mampu merangsang kegiatan ekonomi produktif di tingkat rakyat sekaligus memupuk jiwa kewirausahaan.  Tidak dapat disangkal bahwa membangun ekonomi kerakyatan membutuhkan adanya komitmen politik (political will), tetapi menyamakan ekonomi kerakyatan dengan praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil (saya tidak membuat penilaian terhadap sistem JPS), adalah sesuatu kekeliruan besar dalam perspektif ekonomi kerakyatan yang benar. Praktek membagi-bagi uang kepada rakyat kecil sangat tidak menguntungkan pihak manapun, termasuk rakyat kecil sendiri (Bandingkan dengan pendapat Ignas Kleden, 2000).    Pendekatan seperti ini jelas sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dengan affirmative action.  Aksi membagi-bagi uang  secara tidak sadar menyebabkan usaha kecil-menengah dan koperasi yang selama ini tidak berdaya untuk bersaing dalam suatu mekanisme pasar, menjadi sangat tergantung pada aksi dimaksud.  Sebenarnya yang harus ada pada tangan obyek affirmative action adalah kesempatan untuk berkembang dalam suatu mekanisme pasar yang sehat, bukan cash money/cash material.  Jika pemahaman ini tidak dibangun sejak awal, maka saya khawatir cerita keberpihakan yang salah selama masa orde baru kembali akan terulang.  Tidak terjadi proses pendewasaan (maturity) dalam ragaan bisnis usaha kecil-menengah dan koperasi yang menjadi target affirmative action policy.  Bahkan sangat mungkin terjadi suatu proses yang bersifat  counter-productive, karena asumsi awal yang dianut adalah usaha kecil-menengah dan koperasi yang merupakan ciri ekonomi kerakyatan Indonesia tumbuh secara natural karena adanya sejumlah potensi ekonomi disekelilingnya.  Mulanya mereka tumbuh tanpa adanya insentif artifisial apapun, atau dengan kata lain hanya mengandalkan naluri usaha dan kelimpahan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, serta peluang pasar.  Modal dasar yang dimiliki inilah yang seharusnya ditumbuhkembangkan dalam suatu mekanisme pasar yang sehat.  Bukan sebaliknya ditiadakan dengan menciptakan ketergantungan model baru pada kebijakan keberpihakan dimaksud.
Selanjutnya, pemerintah harus mempunyai ancangan yang pasti tentang kapan seharusnya pemerintah mengurangi bentuk campur tangan dalam affirmative action policynya, untuk mendorong ekonomi kerakyatan berkembang secara sehat.  Oleh karena itu, diperlukan adanya kajian ekonomi yang akurat tentang timing dan process di mana pemerintah harus mengurangi bentuk keberpihakannya pada usaha kecil-menengah dan koperasi dalam pembangunan ekonomi rakyat.  Isu ini perlu mendapat perhatian tersendiri, karena sampai saat ini masih banyak pihak (di luar UKM dan Koperasi) yang memanfaatkan momen keberpihakan pemerintah ini sebagai free-rider.  Justru kelompok ini yang enggan mendorong adanya proses phasing-out untuk mengkerasi mekanisme pasar yang sehat dalam rangka mendorong keberhasilan program ekonomi kerakyatan.  Kita semua masih mengarahkan seluruh energi untuk mendukung program keberpihakan pemerintah pada UKM dan koperasi sesuai dengan tuntutan TAP MPR.  Tapi kita lupa bahwa ada tahapan lainnya yang penting dalam program keberpihakan dimaksud, yaitu phasing-out process yang harus pula dipersiapkan sejak awal.  Kalau tidak, maka sekali lagi kita akan mengulangi kegagalan yang sama seperti apa yang terjadi selama masa pemerintahan orde baru.

Pemberdayaan Ekonomi Rakyat di NTT
Kita telah membahas tentang konsep ekonomi kerakyatan dalam pembangunan ekonomi nasional melalui program-program keberpihakan pemerintah terhadap UKM dan Koperasi.  Masih ada masalah lain yang perlu dibahas dalam hubungan dengan internal condition UKM dan Koperasi.  Beberapa kajian empiris menunjukkan bahwa permasalahan umum yang dihadapi oleh UKM dan Koperasi adalah: keterbatasan akses terhadap sumber-sumber permbiayaan dan permodalan, keterbatasan penguasaan teknologi dan informasi, keterbatasan akses pasar, keterbatasan organisasi dan pengelolaannya (Asy’arie, 2001).
Komitmen keberpihakan pemerintah pada UKM dan Koperasi di dalam perspektif ekonomi kerakyatan harus benar-benar diarahkan untuk mengatasi masalah-masalah yang disebut di atas.  Program pengembangan ekonomi rakyat memerlukan adanya program-program operasional di tingkat bawah, bukan sekedar jargon-jargon politik yang hanya berada pada tataran konsep.  Hal ini perlu ditegaskan, agar pembahasan tentang ekonomi kerakyatan tidak hanya berhenti pada suatu konsep abstrak (seperti pembahasan tentang konsep ‘binatang’ di atas), tetapi perlu ditindalanjuti dengan pengembangan program-program operasional yang diarahkan untuk mengatasi persoalan keterbatasan akses kebanyakan rakyat kecil. Ini adalah suatu model pendekatan struktural (structural approach).
Pada era otonomisasi saat ini, konsep pengembangan ekonomi kerakyatan harus diterjemahkan dalam bentuk program operasional berbasiskan ekonomi domestik pada tingkat kabupaten dan kota dengan tingkat kemandirian yang tinggi.  Namun demikian perlu ditegaskan bahwa pengembangan ekonomi kerakyatan pada era otonomisasi saat ini tidak harus ditejemahkan dalam perspektif territorial.  Tapi sebaiknya dikembangkan dalam perspektif ‘regionalisasi’ di mana di dalamnya terintegrasi kesatuan potensi, keunggulan, peluang, dan karakter sosial budaya.
Pada tingkat regional NTT, masih terdapat persoalan mendasar yang ‘mengurung’  para pengusaha kecil-menengah dan Koperasi (termasuk di dalamnya berbagai bentuk usaha di bidang pertanian) untuk melakukan rasionalisasi dan ekspansi usaha.  Sekalipun sudah banyak program pemberdayaan ekonomi yang langsung menyentuh rakyat di tingkat bawah telah dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun oleh lembaga-lembaga non-pemerintah (NGOs), tetapi sebagian besar rakyat kecil masih sulit untuk mengaktualisasikannya dalam ragaan usaha mereka.  Tingkat pencapaian tertinggi yang paling banyak diperoleh dari program-program dimaksud adalah hanya terbatas pada tumbuhnya kesadaran berpikir dan hasrat untuk maju.  Tetapi ada semacam jarak antara kesadaran berpikir dan realitas perilaku (Bandingkan dengan pendapat Musa Asy’arie, 2001).    Sekedar sebagai pembanding disajikan data realisasi dan tunggakan  Kredit Usaha Tani (KUT) selama periode 1996-2000.  Jumlah realisasi KUT yang telah disalurkan pada petani sejak tahun 1996 sampai tahun 2000 kurang lebih 35, 6 milyar dengan jumlah tunggakan (pokok+bunga) sebesar kurang lebih 26,1 milyar (Laporan Gubernur NTT, 2002).  Atau dengan kata lain tingkat keberhasilan KUT di NTT hanya mencapai kurang dari 26 %.   Selanjutnya, data yang diperoleh dari Biro Perekonomian Seta NTT menunjukkan bahwa sejak ditetapkannya TAP MPR tentang demokrasi ekonomi yang menekankan adanya keberpihakan yang jelas terhadap UKM dan Koperasi di Indonesia, jumlah KK miskin di NTT malah mengalami kenaikan yang cukup murad sebesar 55 % selama periode 1998-2002.
Persoalan mendasar yang mengurung ini, mungkin ada kaitannya dengan sistem nilai budaya yang sudah mengakar pada diri pelaku ekonomi rakyat di NTT secara turun temurun.  Sistem nilai budaya ini yang banyak mendeterminasi perilaku aktor ekonomi rakyat di NTT, termasuk di dalamnya cara pandang tentang usaha, cara pandang tentang tingkat keuntungan, cara pengelolaan keuangan, sikap terhadap mitra dan kompetitor, strategei menghadapi resiko, dsb.  Oleh karena itu saya setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa program pemberdayaan ekonomi rakyat, khususnya di NTT, sebaiknya dimulai dengan program rekayasa sosial-budaya (socio-cultural engineering) untuk merubah inner life dan mengkondisikan suatu tatanan masyarakat yang akomodatif terhadap tuntutan pasar untuk maju.  Ini adalah suatu model pendekatan lain yang disebut pendekatan kultural (cultural approach).Sumber: http://www.ekonomirakyat.org/edisi_10/artikel_3.htm

Blog adalah bentuk aplikasi web yang menyerupai tulisan-tulisan

Blog merupakan singkatan dari web log adalah bentuk aplikasi web yang menyerupai tulisan-tulisan (yang dimuat sebagai posting) pada sebuah halaman web umum. Tulisan-tulisan ini seringkali dimuat dalam urut terbalik (isi terbaru dahulu baru kemudian diikuti isi yang lebih lama), meskipun tidak selamanya demikian. Situs web seperti ini biasanya dapat diakses oleh semua pengguna Internet sesuai dengan topik dan tujuan dari si pengguna blog tersebut.

Sejarah

Media blog pertama kali dipopulerkan oleh Blogger.com, yang dimiliki oleh PyraLab sebelum akhirnya PyraLab diakuisi oleh Google.Com pada akhir tahun 2002 yang lalu. Semenjak itu, banyak terdapat aplikasi-aplikasi yang bersifat sumber terbuka yang diperuntukkan kepada perkembangan para penulis blog tersebut.

Blog mempunyai fungsi yang sangat beragam,dari sebuah catatan harian, media publikasi dalam sebuah kampanye politik, sampai dengan program-program media dan perusahaan-perusahaan. Sebagian blog dipelihara oleh seorang penulis tunggal, sementara sebagian lainnya oleh beberapa penulis, . Banyak juga weblog yang memiliki fasilitas interaksi dengan para pengunjungnya, seperti menggunakan buku tamu dan kolom komentar yang dapat memperkenankan para pengunjungnya untuk meninggalkan komentar atas isi dari tulisan yang dipublikasikan, namun demikian ada juga yang yang sebaliknya atau yang bersifat non-interaktif.

Situs-situs web yang saling berkaitan berkat weblog, atau secara total merupakan kumpulan weblog sering disebut sebagai blogosphere. Bilamana sebuah kumpulan gelombang aktivitas, informasi dan opini yang sangat besar berulang kali muncul untuk beberapa subyek atau sangat kontroversial terjadi dalam blogosphere, maka hal itu sering disebut sebagai blogstorm atau badai blog.

Komunitas Blogger

Komunitas blogger adalah sebuah ikatan yang terbentuk dari [para blogger] berdasarkan kesamaan-kesamaan tertentu, seperti kesamaan asal daerah, kesamaan kampus, kesamaan hobi, dan sebagainya. Para blogger yang tergabung dalam komunitas-komunitas blogger tersebut biasanya sering mengadakan kegiatan-kegiatan bersama-sama seperti kopi darat.

Untuk bisa bergabung di komunitas blogger, biasanya ada semacam syarat atau aturan yang harus dipenuhi untuk bisa masuk di komunitas tersebut, misalkan berasal dari daerah tertentu.

Budaya populer

Ngeblog (istilah bahasa Indonesia untuk blogging) harus dilakukan hampir setiap waktu untuk mengetahui eksistensi dari pemilik blog. Juga untuk mengetahui sejauh mana blog dirawat (mengganti template) atau menambah artikel. Sekarang ada lebih 10 juta blog yang bisa ditemukan di internet, dan masih bisa berkembang lagi, karena saat ini ada banyak sekali perangkat lunak, peralatan, dan aplikasi internet lain yang mempermudah para blogger (sebutan pemilik blog) untuk merawat blognya. Selain merawat dan terus melakukan pembaharuan di blognya, para blogger yang tergolong baru pun masih sering melakukan blogwalking, yaitu aktivitas para blogger meninggalkan tautan di blog atau situs orang lain seraya memberikan komentar.

Beberapa blogger kini bahkan telah menjadikan blognya sebagai sumber pemasukan utama melalui program periklanan (misalnya AdSense, posting berbayar, penjualan tautan, atau afiliasi). Sehingga kemudian muncullah istilah blogger profesional, atau problogger, yaitu orang yang menggantungkan hidupnya hanya dari aktivitas ngeblog[rujukan?], karena banyak saluran pendapatan dana, baik berupa dolar maupun rupiah, dari aktivitas ngeblog ini.

Risiko kejahatan

Karena blog sering digunakan untuk menulis aktivitas sehari-hari yang terjadi pada penulisnya, ataupun merefleksikan pandangan-pandangan penulisnya tentang berbagai macam topik yang terjadi dan untuk berbagi informasi - blog menjadi sumber informasi bagi para hacker, pencuri identitas, mata-mata, dan lain sebagainya. Banyak berkas-berkas rahasia dan penulisan isu sensitif ditemukan dalam blog-blog. Hal ini berakibat dipecatnya seseorang dari pekerjaannya, diblokir aksesnya, didenda, dan bahkan ditangkap.

Terkini

Yahoo

Okezone

EraMusim

Tribunnews

Terpopuler

Copyright © 2011. Idwacanaa.blogspot.com . All Rights Reserved
Template Design by Herdiansyah Hamzah - Creating Website - Published Borneo Templates
Themes modify By Idnusntara. Script by SimplexDesign - Powered By Blogger